Minggu, 15 Februari 2015

Menunggang Gajah Menjadi Salah Satu Kemahiran para Sultan Aceh

Menurut WWF, sejak Januari hingga Desember 2014 ditemukan sebanyak 24 bangkai gajah Sumatera (elephas maximus) dalam kondisi mengenaskan.

Konflik gajah dan manusia di Sumatera memang tak terhindarkan akibat meluasnya perambahan hutan. Gajah seakan telah menjadi musuh masyarakat Sumatera, termasuk Aceh, yang harus diburu dan dimusnahkan. Padahal, pada zaman Kesultanan Aceh di abad ke-17, gajah menjadi lambang keagungan kesultanan itu dan karena itu dijaga keberadaannya.


Bahkan, sebelum Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatera menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan. Dalam buku Gadjah Putih Iskandar Muda, M Junus Djamil mengungkapkan, seorang raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya. “Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya mengendarai gajah,” ungkap Djamil.

Dalam bukunya itu, Djamil juga mengutip Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany yang menginformasikan bahwa Sultan Perlak pada tahun 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas. Marcopolo juga menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan yang punya banyak gajah dan sebagian besar kepunyaan raja.

Pengembara Ibnu Batutah dalam kitabnya, Rihlah Ibnu Batutah, memberikan gambaran lebih lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada tahun 1345. Selain dimiliki raja, katanya, gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300 gajah. Walau untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias. Menurut dia, kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh Kerajaan Delhi di India.

Waktu Kesultanan Aceh berdiri pada par0 pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi hewan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu terkenal sebagai penunggang gajah yang mahir. Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu simbol keagungan sultan. Gajah-gajah pun dirawat dengan baik.

Berbeda dengan zaman sekarang, gajah-gajah liar di pedalaman diburu pada masa itu bukan untuk diambil gadingnya, tapi justru untuk dijinakkan. Gajah terbaik dan terbesar akan dijadikan gajah sultan dan yang lainnya dijadikan armada perang Aceh. Walau untuk berperang, gajah-gajah itu didandani seindah mungkin dengan emas dan permata, seperti pemandangan yang dapat ditemukan di India.

Pada abad ke-17, Iskandar Muda yang masih menjadi kandidat sultan dikabarkan telah akrab dengan gajah sejak kecil. Nama gajah yang menjadi teman bermainnya di waktu kecil adalah Indra Jaya. Gajah itu pemberian kakeknya, Sultan Alau’ddin Riayat Syah, saat Iskandar Muda masih berumur lima tahun. Dikisahkan, Iskandar Muda menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya dengan Indra Jaya.

Ketika usianya 7 tahun, Iskandar Muda mulai diajak berburu gajah liar yang berada dalam hutan. Sewaktu mulai dewasa, ia telah mahir menunggangi gajah. Seperti diungkapkan Hikayat Aceh, yang dikutip Anthony Reid dalam “Elephants and Water in The Feasting of Seventeenth Century Aceh“—dimuat dalam An Indonesian Frontier—Iskandar Muda berlatih menunggang gajah setiap hari Senin dan Kamis.

Kesultanan Aceh memang membanggakan gajah-gajahnya, termasuk kepada tamu-tamu asing, yang selalu terpukau dengan gajah-gajah itu. Maklumlah, gajah-gajah tersebut memang dipersiapkan sebaik mungkin bila untuk menyambut tamu asing, baik perangai, kesehatan, maupun perhiasannya.

Menurut John Davies, navigator Inggris yang menulis “Kunjungan Pertama Belanda Berakhir Buruk, 1599″ yang dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, ketika mengunjungi istana sultan pada tahun 1599., ia berkendara ke istana dengan seekor gajah.

John Davies juga menyebut gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Gajah bisa merobek badan orang hingga pecah berkeping-keping.

Hal yang sama juga diungkap dalam catatan Francois Martin, pedagang Prancis, pada tahun 1602. Hukuman mati dengan gajah dilakukan untuk pezina dan pembunuh.

Namun, fungsi utama gajah tetaplah sebagai simbol kebesaran Kesultanan Aceh. Pedagang Prancis, Augustin de Beaulieu, pada tahun 1621 mencatat bagaimana Aceh merupakan panggung teater besar untuk para gajah. Catatan Augustin de Beaulieu  itu dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dengan tajuk “Kekejaman Iskandar Muda”.

Augustin de Beaulieu mengungkapkan, Aceh memiliki 900 ekor gajah, sehingga tak memerlukan benteng kota. “Gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota sesungguhnya,” kata Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh.

Karena digunakan sebagai armada perang, gajah-gajah itu dilatih bertempur sehingga bunyi keberanian untuk menghadapi musuh. Juga tetap berjalan tenang dalam parade yang diiringi bunyi-bunyian dari alat-alat musik, seperti terompet, tamborin, dan simbal.

Gajah-gajah itu diberi nama oleh Sultan Aceh. Rakyat juga memberi penghormatan kepada gajah-gajah yang sultan gunakan.

Peter Mundy, pelancong Inggris, yang mengunjungi Aceh selama 10 hari dalam catatannya mengatakan melihat upacara besar yang menyertakan banyak gajah pada tahun 1637. Mundy menggambarkan dengan sangat jelas upacara yang digelar saat perayaan Idul Adha. Upacara itu dihadiri khalayak, termasuk orang asing. Sultan mengundang semua rakyat hadir.

Seperti digambarkan Mundy, 30 gajah berhias terbagi dalam beberapa baris. Ada empat gajah setiap barisnya, sebagian gajah ditutupi kain sutera sehingga hanya terlihat kaki, telinga, mata, dan belalai mereka.

Gajah sultan terlihat mencolok. Dengan hiasan kain mewah yang menutupi hampir seluruh tubuh dan menara setinggi satu meter di punggungnya, gajah itu berjalan di deretan paling belakang.

Takeshi Ito dalam “The World of the Adat Aceh”, tesisnya pada Australian National University, mengungkapkan “dalam masa damai, gajah menjadi bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam kitab Adat Aceh.”

Aceh, tambah Ito, tak hanya mengoleksi gajah, tapi juga mengeskpor atau membarternya dengan sejumlah kuda atau hewan lain ke beberapa wilayah seperti Sri Lanka.

Di masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675), yang bisa memiliki gajah tak hanya sultan. Orang kaya juga boleh punya.

Ketika kejayaan Kesultanan Aceh mulai mengalami kemunduran, gajah tak lagi menjadi lambang keagungan dalam upacara keagamaan dan armada perang.
Sumber : pribuminews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar